Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan
Jumat, 14 November 2014

SEJARAH BANDUNG UNDERGROUND

SEJARAH BANDUNG UNDERGROUND

Di Bandung sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi

Cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan
membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.” Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.


Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan, kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian menyusul Pure Saturday dengan albumnya yang self-titled. Album ini kemudian dibantu promosinya oleh Majalah Hai. Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya.

Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.

Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung dan jug lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis. Serunya di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie popnya. Sejak Pure Saturday muncul, berbagai band indie pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic. Begitu pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre musik ini.

Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di `baptis’ di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground.

Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini. Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple yang seakan menjadi reinkarnasi Aktuil di jaman sekarang, tetap loyal memberikan porsi terbesar liputannya bagi band-band indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony, The Bahamas, Blind To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star, Komunal hingga The S.I.G.I.T. Coba cek webzine Bandung, seperti Bandung magazine tentu saja (www.bandungmagazine.com) Death Rock Star (www.deathrockstar.tk) untuk membuktikannya. Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya!
Read more ...

Seorang Guru TK dan Vokalis Band Undergroud "GUGAT"

Seorang Guru TK dan Vokalis Band Undergroud "GUGAT"

"Pelajaran terbesar yang saya dapat dari musik ini adalah filosofi do it yourself atau kemandirian dan selalu berkarya. Salah besar jika orang selalu mengidentikkan kami dengan sesuatu yang negatif. Saya buktinya. Saya seorang guru, seorang ibu, dan seorang pencinta musik hardcore,

ASRI YUNIAR, VOKALIS BAND UNDERGROUND 'GUGAT' DAN SEORANG GURU TK

Jika kita bertemu dengan bu guru TK yang satu ini, kita pasti akan berpikir bahwa beliau hanyalah seorang bu guru yang biasa aja. Dialah Asri Yuniar (Achie) vokalis band metal underground GUGAT yang bergenre hardcore.

Pukul 7.30 WIB. Namun, suasana di Jl Karanganyar No. 37 Kota Bandung sudah ramai oleh suara teriakan anak kecil yang sesekali ditingkahi suara beberapa wanita dewasa. Riuh rendah itu baru terhenti ketika seorang wanita berpakaian setelan jas kuning dengan jilbab hitam mengangkat tamborin lalu menggoyangkannya kuat-kuat. Seketika itu juga, perhatian puluhan anak kecil berpakaian ala pelaut putih-biru langsung tertuju kepada wanita bertubuh mungil itu. Wanita itu bersenandung, "Deng deng deng... dangukeun bel tos disada, lebet ka kelas sing ati-ati, sareng bu guru..." (deng deng deng... dengarkan bel sudah berbunyi, masuk ke kelas dengan hati-hati, bersama ibu guru...). Bocah-bocah itu berbaris rapi sambil menirukan ucapan wanita tadi. Selesai berbaris dan bernyanyi, anak-anak secara tertib masuk ke dalam kelas. Namun, Avei (4), memilih berdiri di samping sang guru, menunggu semua temannya masuk kelas. Ketika wanita itu hendak menuntunnya masuk kelas Avei malah menarik tangan sang guru. Lalu ia berbisik, "Bu Gulu, kalau udah besal, Avei mau jadi penyanyi lok kayak Bu Gulu".

Sang guru yang diidolakan murid-murid TK Kuncup Harapan itu adalah Asri Yuniar (30). Sekilas, dia memang seperti kebanyakan guru TK lainnya, manis, ramah, sabar, dan baik hati. Penampilannya pun bersahaja. Siapa sangka, pada waktu luang setelah bekerja sebagai guru TK. Achie -demikian Asri akrab disapa- juga berperan sebagai vokalis band hardcore Gugat. Ia fasih menggunakan teknik vokal scream setiap kali manggung. Guru TK dan vokalis band hardcore bagaikan dua dunia yang bertolak belakang.

Sebagai putri bungsu dari dua bersaudara pasangan Yono Hapriono dan mendiang Hermin. Achie dibesarkan dengan nilai-nilai tanggungjawab dan kemandirian yang kuat. Pada usia muda, alumnus Fakultas Sastra Unpad tahun 2005 itu menyaksikan perjuangan sang ayah untuk mendapatkan haknya ketika diberhentikan dari PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Dia juga melihat peran sang ibu sangat besar, terutama dalam menjaga keyakinan akan masa depan keluarganya, Oleh karena itu, tidak heran jika Achie tumbuh menjadi sosok mandiri yang total berjuang untuk mewujudkan keyakinannya.

Saat duduk di bangku SMP. sekitar 1997, ketika kebanyakan remaja menyukai boyband atau penyanyi solo bertampang cantik atau tampan, Achie justru merasa jenuh. Warga Kompleks Neglasari, Ujungberung, Bandung itu seperti merindukan musik yang orisinal dan bersifat lebih pribadi. Seorang teman kemudian mengajaknya ke pertunjukan musik beraliran grunge di GOR Saparua. Kota Bandung. Achie pun jatuh cinta. Menginjak SMA, Achie yang pandai bermain bass memberanikan diri membentuk band "Capability" yang semua personelnya perempuan. Karena ngefans berat dengan Kurt Cobain, vokalis band grunge Nirvana. "Capability" hampir selalu menyanyikan lagu-Iagu milik band "Hole" yang vokalisnya merupakan pacar mendiang Kurt Cobain, Courtney Love.

Namun. band SMA itu tidak bertahan lama karena tidak lama kemudian Achie bergabung dengan band "Dining Out." Band itu mendapatkan banyak respons positif dari kalangan muda Kota Bandung. Tak lama setelah membentuk band. Achie dkk pun mendapat banyak undangan untuk tampil pada berbagai pentas seni SMA.
"Saya kan enggak boleh pulang di atas jam enam sore. Jadl, kalau manggung, selalu minta sebelum maghrib, Padahal, kan band bintang tamu itu biasanya main paling malam. Sampai-sampai band saya itu disebut band 'anak mami'" tuturnya, seraya tertawa.

Kiprah Achie di dunia musik beraliran keras (yang lazim disebut banyak orang sebagai musik bawah tanah) berlanjut hingga masa kuliah. Merasa tidak puas dengan band "Dining Out". pada tahun 2003 Achie kemudian membentuk band baru bernama "Gugat" yang beraliran hardcore. Di band inilah Achie didaulat sebagai vokalis, dengan satu teknik vokal, scream.
Agak sulit membayangkan bagaimana mungkin mulut semungil itu bisa mengeluarkan suara-suara keras nan "menyeramkan" ala para vokalis hardcore pada umumnya. Ketika berbincang secara personal, Achie terbilang tidak banyak omong dan cenderung malu-malu. Namun, begitu masuk ke studio dan menggenggam mikrofon. Teriakan Achie yang keras dan memekakkan telinga seperti keluar begitu saja dari mulutnya, mengimbangi pukulan drum dan petikan gitar bertempo sangat cepat.

Setelah merasa nyaman bersama "Gugat", Achie kemudian memutuskan untuk mengenakan jilbab. Istri Hari Gartika itu mengaku sempat ada kekhawatiran akan munculnya penolakan dari komunitas musik underground terhadap keputusannya itu. Namun, kekhawatirannya itu tidak terbukti. Rupanya, komunitas underground memang menepati filosofi mereka untuk menghargai keanekaragaman.

Meskipun demikian, setelah berjilbab dan kini menjadi seorang ibu, Achie mengakui bahwa banyak perubahan dalam penampilannya, terutama saat manggung. Dulu, Achie akan tampil total menggunakan berbagai aksesori untuk mendukung konsep band dan lagu-lagu yang dibawakannya. Ia memakai spike di kedua lengan (sebagai simbol perjuangan) dan rantai di celana (sebagai simbol kebebasan). Selain itu, ia pun akan membubuhkan tindikan di telinga, hidung, dan lidah.
Sekarang, kostum manggung Achie lebih sederhana, hanya paduan celana jins dan sweater atau kaus oblong. "Yang penting kan kualitas lagu sama musiknya," ucapnya.

Saat ini, terdapat sekitar tiga ribu fans berat Gugat yang tersebar di seluruh Indonesia. Band yang diawaki Achie bersama empat personel lainnya, yakni Iman (drum), Okid (vokal), Oce (gitar), dan Bayu (bas). Achie dan Okid berperan sebagai penulis lirik lagu yang terinspirasi dari pengalaman pribadi mereka.
"Saya merasa nyaman dengan musik underground karena bebas berekspresi. Musik ini juga banyak mengeksplorasi sisi kelam kehidupan yang jarang tersentuh oleh aliran musik lain," katanya.

Dengan perasaan itu, rasanya mustahil bagi Achie untuk meninggalkan dunia musik ini. Sikapnya yang konsisten dengan menjaga profesionalitas -antara pekerjaan sebagai guru TK dan sebagai vokalis band hardcore- berhasil menuai hormat dari orang-orang di sekelilingnya. Sejumlah orang tua murid di TK tempatnya mengajar malah sampai menggelar nonton bareng aksi panggung "Gugat" pada beberapa kesempatan. Beberapa murid Achie bahkan sangat mengaguminya sehingga mereka bercita-cita menjadi penyanyi rock saat dewasa kelak.

 " Vokalis Band Undergroud "GUGAT""

Read more ...

SEJARAH PANCEG DINA GALUR

 SEJARAH PANCEG DINA GALUR

Panceg dina galur/babarengan ngajaga lembur. Moal ingkah najan awak lebur…” (Teguh dalam pendirian, bersama-sama menjaga kampung dan persaudaraan. Tidak akan bergeming walaupun badan hancur lebur). Petikan naskah kuno Amanat Galunggung yang dituliskan Rakeyan Darmasiksa (Raja Sunda Kuno yang hidup pada 1175-1297 Masehi) itu disadur menjadi lirik lagu berjudul ”Kujang Rompang” oleh Jasad, sebuah band beraliran death metal asal Bandung. Lagu ini ikut memeriahkan Deathfest IV, festival akbar death metal yang diadakan di Lapangan Yon Zipur, Ujungberung, Bandung, Sabtu (17/10). Ribuan anak muda, mulai dari pelajar SMP hingga mahasiswa, larut dalam hiruk-pikuk event musik metal yang disebut-sebut terbesar di Asia ini.
Meski pertunjukan musik baru mulai selepas maghrib, pada siang hari yang sangat terik itu mereka sudah nongkrong menunggu band-band idola mereka manggung. Sambil mengenakan kaus hitam bermotif seram dan atribut metal lainnya, mereka antusias menunggu.
Filosofi panceg dina galur bukanlah sekadar inspirasi dalam berkarya musik bagi Jasad, melainkan juga menjadi pandangan hidup seluruh anggota dan penggemar musik metal di Bandung, khususnya yang bernaung di daerah Ujungberung.


”Mau seperti apa pun kita, macam mana bungkusnya, yang penting grass root (akar bawah) harus kuat. Harus sadar dan jangan lupakan budaya kita,” ujar Mohammad Rohman, vokalis Jasad.

Bagi masyarakat awam, bahkan dibandingkan komunitas band metal lainnya di Indonesia maupun dunia, keberadaan subkultur band death metal asal Ujungberung ini merupakan sebuah paradoks. Musik metal, tetapi lirik dan pesan nyunda adalah perpaduan yang sulit ditemukan di tempat lain.

Ketika di banyak tempat sub-subkultur atas nama aliran musik berhaluan Barat macam punk, grunge, maupun grindcore gencar melakukan perlawanan budaya lokal, entitas penggemar musik metal Ujungberung yang berada di wadah Ujungberung Rebels dan Bandung Death Metal Sindikat itu justru melakukan hal sebaliknya.

Sebagai contoh, konser Death Festival IV yang diikuti 12 band death metal itu mengangkat tema kampanye penggunaan aksara kuno. Di festival yang menjadi salah satu pembuka penyelenggaraan Helar Festival 2009 (festival industri kreatif di Bandung) itu, panitia membagi-bagikan leaflet mengenai cara menulis aksara sunda kuno kagana kepada penonton yang rata-rata masih berusia ABG.

”Di sekolah-sekolah, saya lihat, ini (kagana) tidaklah diajarkan. Daripada kelamaan menunggu pemerintah bertindak, kami duluan saja yang mulai bergerak,” ujar Rohman yang biasa disapa Man ”Jasad” ini di sela-sela konser.

Di luar panggung, Man dan kawan-kawannya kerap memakai iket kepala sebagai penanda identitas kultur Sunda. Meski, sehari-harinya mereka tidak lepas dari jaket kulit hitam maupun aksesori anting-anting dan tato.

Upaya mengenalkan tradisi Sunda tidak terhenti di sana saja. Di dalam berbagai kesempatan, anak-anak Bandung Death Metal Sindikat kerap menyisipkan pertunjukan karinding, celempung, dan debus.

”Kesenian karinding yang selama 400 tahun tenggelam coba kami hidupkan kembali,” tutur Dadang Hermawan, anggota Bandung Death Metal Syndicate. ”Di tiap Minggu dan Jumat melakukan tumpek kaliwon di Sumur Bandung dan Tangkuban Parahu untuk membicarakan kesenian Sunda,” tutur Man Jasad kemudian.

Terbanyak di dunia

Kelompok band metal yang ada di Ujungberung bahkan disebut-sebut yang terbanyak di dunia. Sejak awal 1990-an hingga kini, band-band metal tumbuh subur di Ujungberung. Saat ini terdapat sekitar 200 band metal hanya di wilayah pinggiran Kota Bandung ini.

”Padahal, Bandung hanya kota kecil jika dibandingkan dengan kota-kota di Jerman. Apalagi, di sini band-band ini kan harus dikondisikan bisa bertahan hidup di tengah banyak persoalan dan tekanan aparat,” tutur Philipp Heilmeyer, mahasiswa sosial-antropologi Goethe Universitat Frankfurt, terheran-heran.

Philipp sudah tiga bulan ini berada di Bandung untuk melakukan prapenelitian mengenai kehidupan kaum metal di Ujungberung ini. Hal lain yang menarik perhatiannya adalah mengapa komunitas metal di Ujungberung ini bisa bertahan justru dengan tetap berpijak pada nilai-nilai tradisi.

”Di Jerman, kaum metal biasanya lekat dengan kebiasaan mabuk-mabukan dan narkoba. Tetapi, mereka di sini malahan melakukan ini,” ucapnya sambil merujuk kegiatan sosialisasi aksara kagana yang dilakukan Bandung Death Metal Sindikat.

Yang disesalkan Aris Kadarisman (35), pentolan grup band Disinfected, masyarakat, khususnya kepolisian, melihat kaum metal justru dari sisi kelamnya.

Perang melawan stigma bahwa musik metal tidak identik dengan kekerasan, narkoba, dan semacamnya menjadi semakin sulit pascatragedi konser maut grup band Beside di Asia Africa Culture Center yang mengakibatkan tewasnya 11 penonton, Februari 2008. ”Padahal, ini terjadi lebih karena persoalan teknis, tidak cukupnya kapasitas tempat,” ucapnya.

Kemandirian ekonomi

Di tengah-tengah dorongan untuk mewujudkan mimpi memiliki gedung konser yang representatif, anak-anak metal ini seolah-olah terusir dari kota kelahirannya. Konser di gedung maupun tempat terbuka kini menjadi hal langka buat mereka. Deathfest IV pun bisa terwujud karena menggandeng kegiatan Helarfest 2009.

Kondisi ini pun disayangkan Ketua Bandung Creative City Forum Ridwan Kamil. Menurut dia, jika dilihat lebih jauh dari dalam, komunitas metal di Bandung menyimpan keunggulan yang luar biasa besar. Keunggulan itu terutama soal kemandirian ekonomi.

Dari musik yang diciptakan, didukung loyalitas para penggemarnya, secara tidak langsung itu menumbuhkan pula industri fesyen, rekaman, bahkan literasi.

Setidaknya, ada enam titik simpul industri fesyen yang dirintis sesepuh band metal di Ujungberung semacam Scumbagh Premium Throath yang didirikan almarhum Ivan Scumbag dari Burgerkill.

”Jika musisi lain itu filosofnya adalah musik untuk kerjaan, kami justru sebaliknya. Dari kerjaan, bisnis, ya untuk menghidupi musik,” tutur Dadang. ”Sebab, musik ini adalah the way of life kami. Tidak semuanya bisa dinilai dengan uang. Art is art, money is money,” ucap Man Jasad menimpali.

Tidak diragukan lagi, kekuatan ketabahan hati dan pikiran inilah yang membuat kelompok metal di Bandung ini tetap bertahan. Persis sesuai dengan paradigma mereka: panceg dina galur, moal ingkah najan awak lembur! (Yulvianus Harjono).

- PANCEG DINA GALUR -
Read more ...